Kebijakan Sosial Masa Orde Baru


Kebijakan Sosial Masa Orde Baru


Masa orde baru merupakan tanda awal berakhirnya kekuasaan Soekarno dan hilangnya kekuatan PKI dari pemerintahan Indonesia. Pada masa kepemimpinan Soekarno telah terjadi banyak penyimpangan. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama. Pemerintahan masa Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 sejak keluarnya Supersemar (Surat Pemerintah Sebelas Maret) hingga turunnya presiden Soeharto pada tahun 1998. Dalam masa pemerintahan 32 tahun ini, presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan diberbagai bidang termasuk sosial budaya. Kebijakan tersebut antara lain adalah:

1.    Program KB (Keluarga Berencana)

Pada tahun 1967 pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 2,6% dan pada tahun 1996 telah menurun drastis menjadi 1,6%. Pengendalian penduduk dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas rakyat Indonesia dan peningkatan kesejahteraan. Berbagai kampanye mengenai perlunya KB dilakukan oleh pemerintah, baik melalui media
massa cetak maupun elektronik. Pada akhir tahun 1970-an sampai akhir tahun 1980-an di Televisi Republik Indonesia (TVRI) sering diisi oleh acara-acara mengenai pentingnya KB. Baik itu melalui berita atau acara hiburan seperti drama dan wayang orang “Ria Jenaka”. Di samping itu nyanyian mars “Keluarga Berencana” ditayangkan hampir setiap hari di TVRI. Selain di media massa, di papan iklan di pinggir-pinggir jalan pun banyak dipasang mengenai pesan pentingnya KB. Demikian pula dalam mata uang koin seratus rupiah dicantumkan mengenai KB. Hal itu menandakan bahwa Orde Baru sangat serius dalam melaksanakan program KB. Slogan yang muncul dalam kampanyekampanye KB adalah “dua anak cukup, laki perempuan sama saja”.
Program KB di Indonesia, diawali dengan ditandatanganinya Deklarasi Kependudukan PBB pada tahun 1967 sehingga secara resmi Indonesia mengakui hak-hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran sebagai hak dasar manusia dan juga pentingnya pembatasan jumlah penduduk sebagai unsur perencanaan ekonomi dan sosial.Program KB di Indonesia sebagai salah satu yang paling sukses di dunia, sehingga menarik perhatian dunia untuk mengikuti kesuksesan Indonesia. Pemerintah pun mengalokasikan sumber daya dan dana yang besar untuk program ini.

2.      Pengendalian media massa melalui SIUPP

Pers pada masa orde baru sangat dikendalikan oleh pemerintah. Kontrol pemerintah terhadap pers tidak dapat diragukan lagi, begitu juga dengan pegaruhnya. Kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan pemerintah orde baru sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah satu contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers, yang mana sangat tidak pro-pers. Keberadaan pers diawasi secara ketat oleh pemerintah di bawah naungan departemen penerangan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi hal – hal buruk di dalam pemerintahan orde baru sampai di telinga masyarakat. Pers tidak bisa melakukan apapun selain patuh pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah.

3.      Pelarangan kegiatan politik di kampus

Sebagai dampak dari peristiwa Malari pada 15 Januari 1974 dan demonstrasi mahasiswa pada tahun 1970an, pemerintah membuat Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan juga Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) di tahun 1978. Kedua kebijakan ini melarang aktifitas politik apapun di kampus dan para mahasiswa dipantau secara ketat.

4.      Pelarangan terhadap budaya Tionghoa

Kebijakan pemerintah orde baru terhadap Tionghoa untuk menjaga integrasi bangsa Indonesia adalah dengan menerapkan kebijakan asimilasi. Asimilasi itu dilakukan oleh orde baru terhadap etnis Tionghoa karena etnis Tionghoa dinilai oleh orde baru sebagai etnis yang masih berbau asing. Sehingga perlu dilakukan adanya pribumisasi dengan meninggalkan budaya Tionghoa secara penuh. Tentu saja hal ini membuat masyarakat Tionghoa merasa tertekan dan diberlakukan seperti anak tiri. Karena dalam melakukan pribumisasi, pemerintah orde baru mengeluarkan kebijakan yang diskriminatif terhadap Tionghoa, mulai dari segi ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini dipicu oleh konsep nation yang dianut oleh Soeharto terhadap bangsa Indonesia ini dan juga karena adanya pemberontakan PKI pada 30 September 1965.
Kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap Tionghoa itu ternyata tidak membuat integrasi bangsa Indonesia semakin kuat dan solid. Karena adanya kecemburuan sosial yang disebabkan program trickle down effect dan kesenjangan ekonomi. Hal ini membuat semakin menguatkan sentiment masyarakat pribumi terhadap Tionghoa, yang akhirnya berujung disintegrasi pada tahun 1998, dan berujung pada lengsernya Soeharto, yang dibarengi dengan krisis moneter yang melanda Indonesia.

5.      Program wajib Belajar

Upaya pelaksanaan wajib belajar 9 tahun pada kelompok usia 7-15 tahun dimulai saat diresmikannya Pencanangan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada 2 Mei 1994. Kebijakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1994. Program wajib belajar yang dimulai Soeharto di akhir Pelita III diakui telah meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia saat itu. Fokus utama ketika itu adalah peningkatan angka-angka indikator kualitas pendidikan dasar. Sebelum wajib belajar dicanangkan, upaya peningkatan kualitas pendidikan dasar didahului dengan dikeluarkannya Inpres No 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama dan adil kepada seluruh anak usia 7-12 tahun di belahan bumi Indonesia mana pun dalam menikmati pendidikan dasar.

6.      Pemerintah mengontrol pelajaran sejarah

Untuk anak sekolah melalui buku dan film G 30 S/PKI diputar TVRI setiap tahun pada tanggal 30 September. Pemerintah menginginkan sebagai pengingat  terhdap bahaya laten PKI dan memuja kepahlawanan Jenderal Soeharto dan film lain adalah Janur Kuning.

7.      Pemerintah mendukung Kirap Remaja Indonesia

Parade Keliling Pemuda Indonesia yang diselenggarakan dua tahun sekali oleh Yayasan Tiara Indonesia pimpinan Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut) sejak tahun 1989. Mereka menjelajahi desa-desa di Indonesia dengan kegiatan seperti menyalurkan air bersih, memperbaiki rumah desa, membersihkan rumah ibada,  menanam pohon serta membersihkan makam serta mengadakan diskusi dan pertunjukan seni.

a.    Masa orde baru
Gaya politik yang didasarkan primordialisme pada era Orde Baru sudah mulai ditinggalkan. Yang lebih menonjol adalah gaya intelektual yang pragmatik dalam penyaluran tuntutan. Dimana pada era ini secara material, penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar (cardinal coalition) antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern (Rusadi Kantaprawira, 2006: 200).
Sementara itu, proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer yang terbatas sebagaimanaa terjadi dalam tipologi masyarakat birokrasi.Akibatnya masyarakat hanya menjadi objek mobilisasi kebijakan para elit politik karena segala sesuatu telah diputuskan di tingkat pusat dalam lingkaran elit terbatas.
Kultur ABS (asal bapak senang) juga sangat kuat dalam era ini.Sifat birokrasi yang bercirikan patron-klien melahirkan tipe birokrasi patrimonial, yakni suatu birokrasi dimana hubungan-hubungan yang ada, baik intern maupun ekstern adalah hubungan antar patron dan klien yang sifatnya sangat pribadi dan khas.
Di masa Orde Baru kekuasaan patrimonialistik telah menyebabkan kekuasaan tak terkontrol sehingga negara menjadi sangat kuat sehingga peluang tumbuhnya civil society terhambat. 


Pendidikan Zone - Apa yang Menyebabkan Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru? - Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru Faktor-faktor yang menyebabkan pemerintahan Orde Baru harus mengakhiri kekuasaannya sama persis dengan faktor-faktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi.

Secara substansial, berakhirnya pemerintahan Orde Baru lebih disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa dan negara. Artinya, apabila pemerintahan Presiden Suharto mampu mengatasi segala persoalan bangsa dan negara, niscaya gerakan reformasi tidak akan terjadi.

Selama ini, pemerintahan Orde Baru sering mengklaim telah berhasil meningkatkan produksi nasional, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, dan berbagai keberhasilan di bidang fisik dan non fisik, seperti perbaikan sarana transportasi, perumahan, perekonomian, olah raga, pendidikan, dan kesehatan. Gambaran tentang keberhasilan pembangunan nasional sering dijadikan slogan bahwa pemerintahan Orde Baru telah berhasil mengubah kondisi kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan pemerintahan orde lama. Namun, pemerintahan Orde Baru tidak memberikan gambaran yang benar bahwa keberhasilan itu harus dibayar dengan mahal oleh anak cucu bangsa.

Kerusakan hutan, eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan asing yang tidak terkontrol secara baik, harga kebutuhan pokok yang tidak menentu, kehidupan politik yang terpasung, dan sebagainya. 

1. Krisis Moneter

Ketika krisis moneter melanda negara-negara Asia Tenggara, maka Indonesia merupakan salah satu negara yang paling lemah kemampuannya untuk mengatasi krisis itu. Ada beberapa indikator ukuran ketidakmampuan Indonesia, seperti:
  • a. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun sampai titik terendah, yaitu Rp 16,000.oo per dollat Amerika Serikat.
  • b. Lembaga perbankan mengalami keterpurukan sehingga beberapa bank nasional harus dilikuidasi.
  • c. Harga barang-barang kebutuhan pokok meningkat sangat tinggi.
  • d. Dunia investasi mengalami kelesuan.
  • e. Daya beli masyarakat mengalami penurunan.

Ketidakmampuan Indonesia dalam mengatasi krisis moneter sebagai akibat dari:
  • a. Ketergantungan Indonesia pada modal asing yang sangat tinggi.
  • b. Ketergantungan Indonesia pada barang-barang impor.
  • c. Ketidakmampuan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Misalnya, sebagai negara agraris Indonesia masih mengimpor beras, gula, minyak, dan sebagainya. Bersumber dari kesalahan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada industri besar, tetapi tidak didukung dengan pembangunan industri hulu yang mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi. Misalnya, bahan baku industri textil Indonesia sangat bergantung pada hasil impor. Padahal, Indonesia adalah salah satu penghasil kapas terbesar di dunia.

2. Krisis Ekonomi

Krisis moneter membawa dampak yang sangat besar terhadap krisis ekonomi. Krisis ekonomi ditandai oleh beberapa indikator, seperti:
  • a. Lemahnya investasi sehingga dunia industri dan usaha mengalami keterpurukan sebagai akibat kekurangan modal.
  • b. Produktivitas dunia industri mengalami penurunan sehingga PHK menjadi satu-satunya alternatif yang mudah untuk mempertahankan efisiensi perusahaan.
  • c. Angka pengangguran sangat tinggi sehingga pendapatan dan daya beli masyarakat menjadi sangat rendah.

Semua itu membawa akibat terhadap kegiatan ekonomi yang semakin rendah dan pada akhirnya produktivitas nasional mengalami penurunan. Ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi bersumber dari beberapa kebijakan pemerintah di bidang ekonomi yang kurang tepat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kenyataan, seperti:
  • a. Usaha pemerintah untuk mengembangkan usaha kecil menengah sebagai soko guru perekonomian nasional kurang maksimal.
  • b. Jiwa kewirausahaan masyarakat tidak dapat berkembang karena terbatasnya peluang dan adanya persaingan yang berat.
  • c. Pemerintah tidak pernah memperhatikan nasib yang hidup di sektor pertanian sehingga para pemuda di desa cenderung pergi ke kota untuk mencari pekerjaan pada sektor industri. Akibatnya, sektor pertanian tidak tergarap secara baik karena kekurangan tenaga kerja di satu sisi dan ketidakmampuan masyarakat memanfaatkan teknologi pertanian di sisi lain.

Kebijakan pemerintah di bidang ekonomi mengakibatkan kemampuan pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi menjadi semakin lemah. Sektor industri tidak mampu bersaing dengan industri negara-negara tetangga. Demikian juga dengan sektor pertanian, di mana hasil pertanian seperti buah-buahan yang dijualbelikan di mall-mall merupakan hasil impor. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang dilaksnakan pemerintahan Orde Baru tidak didasarkana pada sumber daya alam maupun sumber daya manusia Indonesia.

3. Krisis Politik

Sebenarnya, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak terlalu peduli terhadap model atau sistem politik yang dibangun oleh pemerintahan Orde Baru. Yang penting masyarakat dapat memperoleh kemudahan dalam mendapatkan pekerjaan, meningkatkan pendapatan, dan memnuhi kebutuhan sehari-hari.

Dengan kata lain, sebagian besar masyarakat hanya mendambakan kehidupan yang tertib, tenang, damai, aman, serta adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Namun dalam kenyataannya, dambaan masyarakat itu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik yang dibangun pemerintahan Suharto. Bahkan, segala kebijakan pembangunan nasional bersumber dari kebijakan politik pemerintah.

Oleh karena itu, ketika harapan masyarakat tidak dapat terpenuhi, maka muncul tuntutan-tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan nasib masyarakat kecil.

Di sisi lain, kehidupan politik yang represif (yaitu suatu pemerintahan yang ditandai dengan tekanan-tekanan) telah melahirkan konflik, kerusuhan, dan kekacauan sehingga masyarakat merasa cemas dan khawatir karena ketenangan, ketenteraman, dan keamanannya terancam. Bahkan, kerusuhan dan kekacauan itu dapat menghentikan aktivitas masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.

Keadaan itulah menyebabkan terjadinya krisis politik.

Sementara, pemerintahan Orde Baru sendiri tidak mampu mengatasi krisis politik yang berkembang. Oleh karena itu, satu-satunya jawaban yang dipandang paling realistik adalah menuntut Presiden Suharto untuk mengundarkan diri dari jabatannya sebagai presiden. Pemerintahan Orde Baru dan Presiden Suharto dipandang sudah tidak mampu menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik sehingga perlu diganti.

4. Krisis Sosial

Krisis moneter, ekonomi, dan politik terus melanda kehidupan bangsa dan negara Indonesia dalam waktu yang cukup lama. Bahkan, harapan terjadinya perbaikan kehidupan masyarakat tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera datang. Berbagai kesulitan yang dihadapi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupannya semakin hari semakin bertambah berat.

Demonstrasi-demonstrasi yang dipelopori para mahasiswa telah mendorong terjadinya krisis sosial. Kerusuhan, kekacauan, pembakaran, dan penjarahan merupakan fenomena yang terus terjadi di beberapa daerah seperti di Situbondo, Tasikmalaya, Kalimantab Barat, dan Pekalongan. Di samping itu, banyaknya pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) telah menambah krisis sosial. 

Kenyataan itu merupakan bukti ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila masyarakat kemudian menuntut agar Presiden Suharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan.

5. Krisis Hukum

Kekuasaan kehakiman yang merdeka dari kekuasaan pemerintah belum dapat direalisasikan. Bahkan dalam praktiknya, kekuasaan kehakiman menjadi pelayan kepentingan para penguasa dan kroni-kroninya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila seseorang yang dianggap bersalah bebas dari hukuman dan seseorang yang dianggap tidak bersalah malah harus masuk ke penjara.

Memang harus diakui bahwa sistem peradilan pada masa Orde Baru tidak dapat dijadikan barometer untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu, bersamaan dengan krisi moneter, ekonomi, dan politik telah terjadi krisis di bidang hukum (peradilan). Keadaan itulah yang menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Suharto.

Untuk mengatasi krisis multidimensional tersebut, maka satu-satu jalan adalah melaksanakan reformasi total dalam berbagai bidang kehidupan. Para mahasiswa sebagai pelopor gerakan reformasi mengajukan berbagai tuntutan. Misalnya:
  • adili Suharto dan kroni-kroninya,
  • ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN,
  • tegakkan supremasi hukum.
Untuk memenuhi tuntutan mahasiswa, Presiden Suharto mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh nasional untuk membentuk Dewan Reformasi yang beranggotakan tokoh agama dan tokoh nasional. Tokoh-tokoh tersebut menolakpanggilan dan ajakan Suharto sehingga Presiden Suharto mengundurkan diri.


Komentar